Beranda | Artikel
Keharusan Menerima Khabar Ahad Dalam Semua Bidang Agama
Sabtu, 9 Oktober 2010

KEHARUSAN MENERIMA KHABAR AHAD DALAM SEMUA BIDANG AGAMA

Oleh
Ustadz Zainal Abidin Lc

Mengharamkan khabar ahad untuk menjadi hujjah tanpa diperkuat dengan dalil dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti telah menetapkan hukum tidak sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kami meminta kepada mereka yang menuntut ditegakkan syari’at Allah, hendaknya mereka terlebih dahulu menegakkannya pada diri mereka.

Seharusnya, ketika mereka menyaksikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pernah mengirimkan satu orang sahabat untuk membawa misi da’wah tentang aqidah ke penduduk Yaman, seharusnya mereka mau tunduk dan menerima kenyataan ini, serta mengatakan “sami’naa wa ‘atha’naa” (kami mendengar dan kami akan mengikutinya), bukannya mengatakan “sami’naa wa asha-inaa wa jaadalnaa wa ta’ashshobnaa” (kami mendengar, tapi kami tidak akan mengikutinya, bahkan kami akan mendebatnya dan fanatik).

Sekiranya khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah, tentunya Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya akan mengirim satu orang. Dan tentunya orang-orang di Yaman pun akan mengatakan kepada Mu’adz “kau datang sekarang ini sebagai khabar ahad, dan kami tidak akan dapat menerima ajaran-ajaran tentang aqidah darimu. Kembalilah engkau kepada Nabimu. Katakana kepadanya, hendaknya Beliau mengirimkan kepada kami serombongan dari sahabat yang jumlahnya sampai pada tingkat mutawatir, agar mereka dapat mengajarkan kepada kami masalah-masalah aqidah”.

Begitu pula dengan surat-surat para khalifah sesudah Beliau dan para gubernur mereka. Sementara itu, telah menjadi ketetapan umat Islam, bahwa Khalifah yang mereka angkat hanya satu orang.

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan : “Sebagaian para imam menggunakan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi :

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ

Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu, jika engkau tidak lakukan hal tersebut, maka sesungguhnya engkau tidak menyampaikan risalahNya. [Al Maidah:67], sebagai dalil bisa diterimanya khabar ahad.

Di ayat ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk menyampaikan risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara itu, Beliau adalah Rasul (utusan) untuk seluruh manusia. Oleh karenanya, Beliau harus menyampaikan risalah ini kepada semua manusia. Jika khabar ahad tidak dapat diterima, tentunya syari’at Islam ini tidak akan bisa disampaikan kepada seluruh manusia. Karena, tidak mungkin Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mampu berdialog langsung dengan seluruh manusia. Begitu juga Beliau tidak akan bisa untuk mengirimkan sejumlah orang yang mutawatir. Ini adalah hujjah yang bisa diterima”.[1]

Diantara dalil yang membatalkan ungkapan di atas, yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengirim satu orang sahabat untuk mendatangi Raja Hiraklius. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam surat yang ditujukan kepadanya “Bila engkau menolak, maka sungguh engkau akan menanggung dosa orang-orang Arisiyyin” Artinya, jika engkau menolak dan tidak menerima yang telah aku kabarkan kepadamu, maka engkau akan menanggung dosa seluruh rakyatmu.

Sekiranya Raja Hiraklius itu termasuk orang Hizbut Tahrir, tentu dia akan menolak utusan Nabi n tersebut dan memintanya untuk kembali lagi dengan membawa rombongan yang jumlahnya sampai pada tingkat mutawatir, sehingga risalah dan kabar yang mereka bawa dapat diterima.

ULAMA TELAH IJMA’ BAHWA KHABAR AHAD SEBAGAI HUJJAH
AllahSubhanahu wa Ta’alal telah menjadikan Ijma’ kaum muslimin sebagai hujjah. FirmanNya :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيراً

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasai itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [An Nisaa’/4 : 155].

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan Kitab dan HikmahNya untuk menghilangkan perselisihan, dan untuk memberikan keputusan yang tepat dalam permasalahan yang diperselisihkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً

Dan demikin ( pula) Kami jadikan kalian umat yang pertengahan (adil dan terpilih)“. [Al Baqarah/2 : 143].

Dalam kitab Fath-hul Barii (13/316), Ibnu Hajar menyatakan : “Ayat yang disebutkan oleh Bukhari ini, oleh Ahli Ushul digunakan sebagai dalil, bahwa Ijma’ ummat Islam itu adalah hujjah yang dapat diterima, sebab ummat ini akan selalu bersikap adil, berdasarkan kata-kata “ummatan wasathan” yang artinya umat yang adil. Sebagai konsekwansinya, ummat ini akan terjaga dari kesalahan dalam hal yang mereka sepakati, baik berupa ungkapan ataupun tindakan”.

Asy Syafi’i berkata : “Saya belum pernah mengetahui bahwa ulama kaum muslimin berbeda pendapat mengenai bisa diterimanya khabar ahad”.[2]

Ibnu Hajar berkata : “Hadits yang didukung dengan qarinah (penguat), bisa saja sampai tingkat memberikan ilmu (keyakinan). Hadits yang seperti ini ada beberapa macam. Diantaranya, yaitu hadits-hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam dua kitab shahihnya. Walaupun hadits-hadits itu tidak sampai pada derajat mutawatir, namun dia didukung dengan beberapa hal yang menguatkannya. Diantaranya:

  1. Kepakaran Bukhari dan Muslim dalam bidang periwayatan hadits.
  2. Kejelian mereka memilah hadits yang shahih dari yang lainnya.
  3. Sikap para ulama yang menerima secara utuh kitab shahih mereka.

Sikap ini, sebenarnya merupakan bukti yang lebih kuat untuk menunjukkan bahwa hadits-hadits itu bisa meyakinkan, dibandingkan dengan hanya sekedar banyaknya sanad periwayatan yang terdapat pada riwayat mutawatir.

Ibnu Hajar berkata : “Ijma’ itu telah terjadi atas dasar diakuinya keshahihan riwayat-riwayat tersebut” [3]. Dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa para sahabat dan tabi’in mengamalkan khabar ahad, serta tidak ada yang menentangnya. Kesepakatan mereka ini menunjukkan diterimanya khabar ahad.[4]

Dalam Muqaddimah-nya, Ibnu Shalah berkata : “Semua riwayat yang telah disepakati bersama oleh Bukhari dan Muslim, semuanya telah diakui keshahihannya. Secara teori, dia sampai pada tingkat memberikan keyakinan. Pendapat ini, tentunya bertolak belakang dengan orang yang mengatakan bahwa pada asalnya riwayat-riwayat itu hanya sampai pada tingkat zhann, namun kebetulan ummat Islam mau menerima dan mengakuinya”[5].

Ibnu Shalah pernah mengatakan, pada awalnya dia condong untuk menolak khabar ahad dalam masalah aqidah, selanjutnya dia mengatakan : “Kemudian tampaklah padaku, bahwa pendapat yang telah aku pilih sebelumnya (yaitu menerima khabar ahad dalam masalah aqidah) adalah pendapat yang benar”.

As Sakhawi mengatakan : “Sebenarnya sebelum Ibnu Shalah, sebagaian ulama hadits, ulama ushul dan ulama Salaf, secara umum juga telah mengatakan hal yang sama, (yaitu khabar ahad dapat diterima dalam masalah aqidah)”[6].

Kalau Abu Hanifah, beliau berkata : “Hadits tentang mi’raj adalah benar. Barangsiapa mengingkarinya, maka ia sesat dan berbuat bid’ah”[7]. Padahal hadits mi’raj adalah khabar ahad, dan isinya masalah aqidah. Seandainya khabar ahad dilarang dalam aqidah, tentu Abu Hanifah tidak menganggap sesat orang yang menolak khabar ahad.

Meskipun An Nawawi menyangkal Ibnu Shalah, akan tetapi dia berkata : ”Para khalifah yang rasyid dan sahabat-sahabat lainnya, orang-orang yang datang setelah mereka dari kalangan salaf (dahulu) dan khalaf (belakangan); (mereka) masih tetap mengamalkan hadits ahad”. [8] Dan dia memberi catatan atas hadits Al Jassasah yang panjang, yang di dalamnya disebutkan bahwa para sahabat melihat Dajjal. Demikian ini menunjukkan diterimanya hadits ahad.[9]

An Nawawi benar, bahwa kebanyakan kaum Salaf mengamalkan hadits ahad, bahkan tidak memilah-milah.

Inilah Abdullah bin Umar, dia bertanya kepada ayahnya, yaitu Umar, tentang riwayat Sa’d bin Abi Waqqash tentang masalah mengusap dua khuf (sepatu). Umar berkata kepadanya : ”Jika Sa’d bercerita sesuatu kepadamu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka janganlah engkau bertanya kepada selainnya tentang sesuatu itu”. (Hadits riwayat Al Bukhari, no. 202). Di sini tampak jelas, bahwa Umar tidak membedakan antara hadits ahad dalam masalah fiqh, dan hadits ahad dalam hal aqidah.

Kemudian secara jelas An Nawawi menyebutkan, bahwa dia merasa yakin terhadap apa yang ditunjukkan hadits ahad yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim. Dia berkata seraya mengomentari hadits Dhamam bin Tsa’labah yang memuat masalah aqidah : “Dalam hadits ini, menunjukkan adanya pengamalan dengan hadits ahad,” dan dia berkata : ”Dan hadits ini, posisinya sangat agung, termasuk hadits yang memuat masalah aqidah. Karena, di dalamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan segala sesuatu, yang keluar dari seluruh agama, kafir dengan keragaman aqidah mereka”.[10]

KHABAR AHAD MEMBUAHKAN ILMU DAN AMAL
Anggapan mereka bahwa hadits yang diriwayatkan satu orang hanya dapat membuahkan ilmu saja dan tidak dapat membuahkan amal, merupakan pendapat yang saling bertentangan, karena mengamalkan sesuatu adalah bagian dari pengetahuan tentangnya. Ketika mereka melihat kaum salaf dan khalaf menerimanya segi ilmu dan amal, mereka mau tidak mau harus mengatakan, bahwa itu wajib diamalkan, karena hal itu telah menjadi kaidah dasar mereka.

Ibnu Hazm berkata : “Abu Sulaiman, Al Karabisi, Al Muhasibi dan lain-lainnya mengatakan, bahwa hadits ahad dari satu orang adil kepada orang adil lainnya hingga bersambung kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengharuskan membuahkan ilmu dan amal secara bersamaan. Maka kami berkata :… Jika ini benar, maka dapat ditetapkan dengan yakin bahwa hadits yang diriwayatkan oleh satu orang adil dari orang adil dapat hingga bersambung kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar qath’i, wajib membuahkan ilmu dan amal secara bersamaan”. [11]

Sungguh kami menemukan kontradiksi dalam perkataan An Nawawi “Hadits ahad itu menunjukkan dzann (perkiraan) dan tidak menunjukkan ilmu”, karena bagaimana mungkin dalil akan tegak atas para hamba dengan dzann, kecuali jika dzann menurutnya bermakna dzann yang rajih (keyakinan), bukan dzan yang sangkaan dan perkiraan. Sedangkan qarinah (dalil penguat) dari perkataan An Nawawi (terdapat) di tempat alin, yakni saat dia mengomentari hadits Jassasah, bahwa hadits itu menunjukkan diterimanya hadits dengan riwayat satu orang.[12]

Abu Al Mudhaffar As Sam’ani Asy Syafi’i berkata : ”Sesungguhnya hadits, jika benar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm, diriwayatkan oleh para imam yang tsiqah, dan orang belakangan mereka menyandarkan kepada orang terdahulu (dari) mereka hingga kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diterima oleh umat, maka hadits itu mewajibkan ilmu dalam apa yang berkaitan dengan ilmu. Ini adalah perkataan kebanyakan Ahli Hadits dan orang-orang yang menekuni As Sunnah. Dan pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad tidak membuahkan ilmu dengan sendirinya, dan harus diriwayatkan secara mutawatir karena ilmu yang ada padanya, adalah sesuatu yang diada-adakan Qadariyah dan Mu’tazilah, yang bertujuan menolak hadits-hadits [13]. Hal senada disebutkan dalam kitab Al Qawathi’, yang dipuji-puji oleh As Subkhi dalam Thabaqat-nya (5/343).

Imam Asy Syafi’i berkata : “Aku tidak pernah mendengar seorangpun yang dipandang ulama, berselisih pendapat bahwa Allah telah mewajibkan kita untuk mengikuti perintah Rasulullah dan tunduk kepada keputusannya. Allah tidak membolehkan seseorangpun untuk mengikuti, kecuali hanya mengikuti RasulNya. Ucapan siapapun tidak wajib diikuti, kecuali jika relevan dengan Kitabullah atau Sunnah Rasul. Sedangkan selain dari keduannya, kita tidak boleh mengikutinya. Mereka juga tidak berselisih bahwa Allah mewajibkan kepada kita generasi sesudah dan sebelum kita untuk menerima berita dari Rasulullah.”

Imam Malik berkata : “Ibnu Abdil Barr menyatakan dalam At Tamhid (1/7-8), banyak kaum dari kalangan Ahli Hadits mengatakan, bahwa hadits ahad mewajibkan ilmu yang dhahir dan amal secara bersaman. Diantara mereka ialah : Al Husain Al Karabisi dan lainnya”. Dan Ibnu Khuwaiz Mindad menuturkan, bahwa perkataan ini keluar dari madzhab Malik.

Ibnu Taimiyah : ”Dan termasuk hadits shahih, yaitu hadits yang diterima oleh kaum muslimin, lalu mereka beramal dengannya. Ini berarti membuahkan ilmu dan pasti, bahwa itu benar. Dan termasuk hadits shahih, (yaitu) hadits yang diterima dan dibenarkan oleh para ahli hadits, seperti kebanyakan hadits Al Bukhari dan Muslim. Karena semua ahli ilmu hadits mengukuhkan keshahihan hadits-hadits dua kitab tersebut. Dengan demikian, kesepakatan ahli ilmu hadits, bahwa hadits ini benar bagaikan kesepakatan para ahli fiqih yang menyatakan, bahwa ini halal atau haram atau wajib. Jika ahli ilmu sepakat atas sesuatu, maka semua umat mengikuti mereka. Karena Ijma’ mereka adalah ma’shum, tidak mungkin bersepakat di atas kesalahan”.[14]

KAIDAH DASAR MEMANGKAS SYUBHAT PENOLAKAN KHABAR AHAD
Kemudian, jika penunjukan hadits ahad kepada ilmu diperselisihkan oleh para ulama’, namun mereka tidak berselisih dalam kewajiban untuk berpegang kepadanya dan mengamalkannya secara mutlak, kecuali para ahli kalam dari kelompok Asy’ariyah, Al Maturidiyah dan orang-orang yang sefaham dengannya.

Paling tidak, jika mereka tidak sepakat dengan Ahli Sunnah dalam penunjukan hadits yang diriwayatkan oleh satu orang yang tsiqah, yang lengkap syarat-syaratnya kepada ilmu, mereka sepakat dengan kami atas penunjukan hadits Shahihain (Hadits Al Bukhari dan Muslim) kepada ilmu. Karena, Ibnu Shalah telah berkata dalam Mukaddimah-nya : “Hadits yang disepakati oleh Al Bukhari dan Muslim, semuanya adalah maqthu’. Dapat dibuktikan secara ilmiyah. (Ini) berbeda dengan perkataan orang yang menafikan itu semua, dengan berdalil bahwa hadits ahad aslinya hanyalah membuahkan dzann, namun para imam menerimanya”.

Seandainya hadits ahad tidak menghasilkan ilmu, tentu tidak diperbolehkan membunuh orang yang mengaku atas dirinya dengan pembunuhan, dan juga tidak dengan dua saksi atas dirinya, dan juga tidak dengan empat saksi atas orang yang berzina, dan juga tidak dengan dua saksi, atau satu saksi laki-laki dan dua saksi perempuan dalam jual beli, karena kesaksian tetap dianggap khabar ahad meskipun mereka empat orang.

Cukuplah dengan batasan-batasan yang telah disebutkan ini, untuk menerima hadits ahad sebagai dalil, daripada orang yang membuat batasan-batasan dari diri mereka sendiri, yang Allah tidak menurunkannya dalam KitabNya kepada mereka. Akan tetapi Allah Maha mengetahui, bahwa riwayat khabar ahad yang tsiqah dan jujur, dapat dipergunakan sebagai dalil. Allah tidak mensyaratkan hadits dalam masalah aqidah harus banyak rawi, sebagaimana Dia menentukan banyak orang dalam perzinahan, pembunuhan dan perdagangan. Akan tetapi haruslah pembatasan itu dari Allah, sehingga kami berpegang kepadanya.

HUJJAH TAK TERBANTAH
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggung menjaga kita dari kesesatan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Aku tinggalkan padamu sesuatu, yang jika kamu berpegang teguh kepadanya, kamu tidak akan sesat setelahku, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnahku,” dan kesesatan, yaitu menyimpang dalam aqidah. Maka jelaslah, Beliau menjaga kita dari kesesatan aqidah dengan hadits yang kebanyakan riwayatnya dari hadits ahad.

Dikatakan kepada orang yang memperbolehkan dzann dalam hokum : “Saya menolak mengambil dalil dzann dalam aqidah dan hukum, bukan dalam aqidah saja, dikarenakan hadits ahad mempunyai arti dzann. Bagaimana Anda menjadikannya sebagai hujjah, sedangkan hujjah bertentangan dengan Anda. Bahwa Anda menyebut hadits ahad adalah keraguan dan kebimbangan, dan itu tercela secara mutlak. Maka, jika keberadaannya tercela, hendaklah dilarang secara mutlak dalam segala urusan agama, bukan sebagian saja”.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
_______
Footnote
[1]. Fathul Bari (13/235).
[2]. Manhaj Imam Syafi’i Fi Atsbat Aqidah; Ar Risalah, 457.
[3]. Syarah An Nukhbah, halaman 6 dan lihat Tadrib Ar Rawi, oleh As Suyuthi (1/133).
[4]. Fathul Bari (13/234).
[5]. At Taqayyud Wa Al Idhah, 41; Ulum Al Hadits, hlm. 25; Tadrib Ar Rawi (1/131).
[6]. Qawaid At Tahadduts, 85; Fathul Mughits (1/51).
[7]. Al Fiqhul Akbar, 92.
[8]. Syarah Shahih Muslim (1/130).
[9]. Lihat syarah An Nawawi terhadap Shahih Muslim (18/80).
[10]. Syarah Muslim (1/171, 227).
[11]. Al Ihkam Fi Ushuli Al Ahkam (1/119-124).
[12]. Syarah Muslim, oleh An Nawawi (18/80).
[13]. Risalah Al Intishar Li Ahli Al Hadits, yang diringkas oleh As Suyuthi dalam Shaun Al Manthiq Wa Al Kalam, halaman 160-167.
[14]. Majmu’ Al Fatawa (18/16-17).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2858-keharusan-menerima-khabar-ahad-dalam-semua-bidang-agama.html